Tuesday, April 27, 2010

Meracau tentang kebenaran (2010.04.09)

Biarkan aku meracau sekali lagi. Tentang langit, tentang bumi, tentang kehidupan, dan tentang kebenaran. Bertahun-tahun yang lalu, seseorang berkata bahwa di dunia ini tidak ada hitam maupun putih, yang ada hanyalah berlapis-lapis warna abu-abu yang gelap dan terang dan berbeda-beda. Setiap manusia memiliki pemikirannya sendiri, dan setiap pemikiran memiliki cara penyampaiannya sendiri. Hitam dan putih, bukankah itu hanya permainan kata-kata dan sudut pandang saja? Jika benar dan salah itu mutlak, maka itu juga hanya karena ketidakmutlakannya.

Seseorang pernah bersikeras padaku bahwa kebenaran itu mutlak. Ya, selama berjam-jam ia mengatakan padaku bahwa kebenaran itu mutlak, dengan berapi-api dan penuh percaya diri. Menurutku ia tidak salah, hanya lupa menambahkan kata "dalam lingkup dan batas tertentu" saja. Seperti halnya kebenaran yang dipercaya oleh para pemuka agama ribuan tahun lalu, bahwa bumi adalah pusat tata surya. Atau kebenaran yang diyakini sesuai dengan pemikiran filsuf kuno bahwa bumi berbentuk datar. Itukah kebenaran? Anggap saja itu bukan kebenaran. Tapi mengapa ia pernah diyakini sebagai kebenaran untuk kurun waktu yang sangat lama? Apa itu kebenaran? Apa ia masih memiliki bentuk dan eksistensi dalam perjalanan waktu dan perubahan dunia? Jika jenis kelamin seseorang pun dapat diubah dengan operasi, maka kebenaran seperti apakah yang bisa dikatakan mutlak? Begitu pula jika binatang kuda dulunya hanya sebesar anjing (kita asumsikan bahwa teori evolusi yang dikemukakan para ilmuwan adalah benar), lalu sekarang bertambah menjadi sebesar itu. Lalu kebenaran mutlak macam apa yang dapat dikatakan tentang ukuran kuda? Matahari terbit dari arah timur. Bukankah itu merupakan kebenaran mutlak? Ya, jika untuk saat ini dan dilihat dari bumi ini. Apakah pasti akan seperti itu di semua planet? Apakah masih akan seperti itu jika (kita andaikan saja) bumi mengalami perubahan dahsyat sehingga arah putarannya berbalik? Tentu saja ini hanya pengandaian yang berlebihan dan terkesan memaksa? Tapi siapa pula yang menjamin 100% itu pasti tidak akan terjadi? Kebenaran memiliki batasan. Begitu pula dengan kata "mutlak", ia juga masih perlu dipertanyakan. Mutlak dan abadi, berkaitan namun tidak selalu sejalan.

Sedangkan benar dan salah dalam fungsinya sebagai tolak ukur perbuatan atau perkataan, bukankah itu juga tak selalu mutlak dan tak selalu tidak mutlak? Aku sering berkata bahwa semua itu tidak mutlak. Ya, tentu ada alasannya. Namun dari sisi lain, misalkan saja dalam contoh 1 + 1 = 2. Ini tentu adalah mutlak dalam pelajaran matematika. Jika seorang anak SD menjawabnya 10, tentu sang guru akan menganggap jawaban itu salah. Ini adalah hal yang mutlak. Seseorang bisa saja berkata bahwa anak tersebut memiliki alasannya sendiri untuk menjawab 10. Tapi itu adalah hal yang lain lagi. Belum lagi jika sepasang kekasih mengatakan 1 + 1 = 10 dalam arti saat 2 orang bersama segalanya menjadi sempurna, tentu itu adalah hal yang bisa dibilang benar namun tidak ada hubungannya lagi. Dalam ulangan matematika ini, 1 + 1 = 10 tetaplah salah. Begitu pula jika seseorang rakyat jelata (bukan polisi atau pasukan pembasmi teroris atau sejenisnya) melakukan pembunuhan yang disengaja dan bukan untuk membela diri. Mungkin dari segi tertentu, ia akan dianggap benar jika misalnya yang dibunuhnya itu adalah orang jahat yang berbahaya. Namun dari segi hukum, membunuh tetap saja adalah salah (melanggar hukum).

Lalu sebenarnya benar dan salah itu masih ada atau tidak? Dan jika ada, apa itu mutlak atau tidak? Apa itu benar, apa itu salah? Apa itu mutlak, apa itu tidak mutlak? Siapa yang dapat mengatakannya? Di dunia ini ada seorang gadis yang dilahirkan sebagai penonton. Dan hanya berbicara atas apa yang ada dalam pandangan dan pendengarannya. Apa yang dituliskannya, mungkin tidaklah indah. Apa yang dikatakannya, mungkin tidaklah disukai. Namun hanya itulah yang sesungguhnya, yang didengar dan dilihatnya, lalu dikisahkannya.

No comments:

Post a Comment