Friday, May 7, 2010

Mimpi Sesosok Angin (2010.05.06)

Tahun itu, aku berusia 11 tahun. Belum cukup dewasa untuk memahami dunia, namun sudah tidak cukup naif untuk berharap pada siapapun. Itu adalah pertama kalinya aku mengenal benar dan salah, hukum dan keadilan, cinta, benci, juga impian. Saat gadis-gadis sebayaku masih tenggelam dalam dongeng putri salju ataupun gadis bersepatu kaca, jauh di dalam benakku.... kilau pedang dan bunga darah, asap peperangan berkejaran di antara sosok-sosok pahlawan. Aku bermimpi tentang negara, rakyat, hukum, juga keadilan. Aku bermimpi tentang pahlawan berkuda hitam, yang mengalirkan darah demi bangsanya, yang memberikan hatinya untuk dunia. Dan akupun berjanji.... setelah dewasa nanti, aku tidak akan menikah dengan petani lugu yang sederhana ataupun tuan muda keluarga kaya yang hanya tahu membaca puisi di tengah taman. Suatu hari nanti, aku harus menemukan seorang pahlawan, dan menemaninya menerjang kelamnya dunia.

Dan waktupun berlalu....

Tujuh tahun yang lalu, aku berusia 18 tahun. Belum terlalu tua untuk berfilsafat, namun sudah tak lagi berhak untuk bermimpi. Begitupun, aku telah melihat dunia. Tentang hitam, putih, dan abu-abu. Tentang istana, politik, dan tipu muslihat di dalamnya. Juga tentang istana belakang. Tak ada lagi benar dan salah dalam otakku. Dunia ini tidaklah adil, juga bukan sebatas benar dan saah. Dan saat teman-temanku sibuk tertawa dan menangis karena kekasih mereka, akupun mulai bertanya.... Jika aku berada di istana belakang, peran seperti apakah yang akan kupilih? Kaisar seperti apakah yang akan kucintai? Dan aku berjanji, jika aku berada di sana, aku tidak akan menjadi wanita siluman yang merusak negara, namun juga tak akan menjadi selir bodoh yang meneteskan air mata setiap hari menanti Kaisar.

Dan waktupun berlalu....

Pertengahan musim gugur tahun lalu, bulan bersinar dengan indah. Tarian naga dan singa di luar sana seakan tak tahu penderitaan dunia. Malam itu, kita berbincang tentang langit, tentang bumi, tentang ribuan li tanah air, juga tentang Kaisar-Kaisar dan pahlawan-pahlawan ribuan tahun. Kita tertawa di antara lembaran sejarah dan analisa gila tentang dunia. Kuingat, suatu ketika, kita pernah berbincang tentang cinta. Kau bilang, cinta itu menyakitkan, dan kau ini hanya elang liar yang akan memiliki kebebasannya sendiri, selamanya. Dan kita pun kembali tertawa. Aku sudah tak ingat lagi, berapa kali kita mengarahkan senapan pada para pengkhianat sambil tertawa. Berapa kali kita memainkan kata dan menghujat para pecundang dengan angkuhnya. Berapa kali kita dikejar dan berlari, bersembunyi, lalu kembali mengangkat pedang dan melanjutkan pertempuran. Dan malam itu.... Hahaha... Malam itu tak akan kuceritakan untuk siapapun. Biarlah itu berada jauh di luar segala sastraku. Dan kini, aku berkata.... kurasa aku tak akan sanggup bersama dengan petani lugu yang tak mengerti kebenaran dunia, atau tuan muda keluarga kaya yang hanya bisa membaca puisi cinta di taman bunga. Dan jika aku berada di istana belakang, aku tidak akan menjadi wanita siluman yang memikat Kaisar untuk melupakan negara, juga tak akan menjadi selir bodoh yang mengisi sepanjang harinya dengan air mata kerinduan.

Tuan, aku ini tak bisa memandang masa depan. Atau mungkin juga, orang seperti kita ini tidak ditakdirkan memiliki masa depan. Begitupun, aku sudah bahagia karena pernah menemani permainanmu. Suatu ketika aku pernah berpikir, bolehkah aku membuang semua kisah kepahlawanan.... demi cinta. Bolehkah aku melupakan tanah air, dan sejarah, dan asap peperangan.... demi cinta dan sebuah mimpi yang damai. Namun tak ada jawaban. Langit pucat, lautan hati tak berpusat....

No comments:

Post a Comment